Entri Populer

Sabtu, 22 Oktober 2011

Kyai vs Politik (sebuah catatan Terong Gosong)

Tahafutul Pulitik
Atawa Kerancuan
Politik ----> Oleh:
Mahrus Husain
Saat ini sepertinya
opini semua pihak
membubuhkan
tanda negatif
terhadap kiyai yang
berkecimpung dalam
dunia politik praktis.
Ada semacam
tawaran dari umat:
Bila kiyai berpolitik,
maka bersiap-
siaplah untuk jauh
dari umatnya.
Stigma negatif yang
disandangkan pada
politik kiyai pada
dasawarsa terakhir
ini bermula dari
derasnya arus
keterbukaan yang
seolah membuka
segala sesuatu yang
tidak mungkin,
menjadi hal yang
sangat mungkin,
asalkan tersedia
sarananya .Menurut
Gus Mus, di tengah
euphoria
keterbukaan, banyak
pihak yang asal
kejar, tanpa ada
perhitungan akurat
dan cenderung
pragmatis.
Akibatnya, umat
tidak merasakan
manfaat dari
kiprahnya. Padahal,
sedikit atau banyak,
mereka menyokong
dukungan
kepadanya.
Jika kita lebih
cermat menganalisa,
kiyai dan politik
seperti dua sisi mata
uang yang tidak bisa
dipisahkan. Ada yang
secara jelas sebagai
eksponen partai
politik dan berperan
aktif di dalamnya;
ada yang sekedar
membantu tapi
enggan berkiprah
dalam percaturan
yang lebih jauh; ada
juga yang
mengambil jarak dan
ogah untuk
bersanding
dengannya. Yang
kesemuanya adalah
sikap politik.
Harus dimaklumi,
sesungguhnya hal ini
merupakan implikasi
yang wajar dari
posisinya sebagai
tokoh panutan yang
mengimami umat
pengikutnya.
Posisi yang mereka
emban adalah buah
dari keberhasilannya
dalam mengawal
umat sehingga ia
diakui sebagai
pemimpin informal.
Dalam merawat
umat, pasti ada
langkah-langkah
politis yang dilewati
-baik itu
dilakukannya sendiri
atau warisan dari
orang-orang tua
pendahulunya.
Adalah mustahil
apabila seseorang
begitu saja diterima
oleh sekelompok
masyarakat sebagai
pemimpin tanpa ada
eksistensi nyata
yang dirasakan
maanfaatnya oleh
kelompok tersebut.
Kecuali ia hanya
sebatas simbol,
Kiyai Fattah
misalnya, beliaulah
yang berhasil dalam
diplomasinya setelah
kegagalan kiyai
Wahab Chasbullah
untuk membuka
kembali Madrasah
Mu’allimin
Muallimat yang
beberapa bulan
ditutup oleh Jepang.
Kiyai Wahab
mengajukan
permohonan -agar
kegiatan belajar
mengajar di
madrasah dibuka-
atas nama Nahdlatul
Ulama, dan Jepang
menganggap bahwa
hal ini adalah
gerakan yang
membahayakan;
sedang kiyai Fattah
kembali mengajukan
permohonan atas
nama guru-guru
madrasah yang
nganggur. Jepang
setuju, dan kegiatan
belajar mengajar
bisa dilanjutkan
kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar