Entri Populer

Kamis, 27 Oktober 2011

Sebuah Ironi Nasib Perangkat Desa

Pembayaran Gaji
Perangkat Desa
Menunggu 3 Bulan
Oleh: Zaenal Mustofa
| 20 October 2011 |
07:49 WIB
Menghitung hari,
menghitung pekan,
menghitung bulan.
Demikian yang
senantiasa terlintas
di benak Perangkat
Desa Indonesia yang
TPAPD atau
tunjangan
penghasilannya
dicairkan atau
dibayarkan oleh
Pemerintah
Kabupaten dengan
menggunakan
sistem 3 (tiga) bulan
sekali, tidak setiap
bulan.
Ada keluh kesah di
sisi pengabdian yang
terpendam dalam
perasaan perangkat
desa. Bahkan ada
yang
mempertanyakan,
kenapa perangkat
desa diberi upah
dengan pekerjaan
kembali ketika
menggarap sawah
bengkok mereka,
selain tunjangan
yang tidak sesuai
dengan upah
pekerja/UMR (mulai
200 ribu rupiah
perbulan, atau 400
ribu rupiah
perbulan).
Yang ironis, ada
sebuah daerah yang
lahan
pesawahannya
diandalkan oleh
pemerintah
daerahnya sebagai
lumbung padinya,
tapi perangkat
desanya sama sekali
tidak ada fasilitas
sawah bengkok bagi
mereka. Ketika
berharap dan
meminta upah dari
masyarakatnya
berupa Pancen pun
semakin sulit,
karena
masyarakatnya
sudah banyak
berubah perilaku,
yakni berharap
diberi dan jauh dari
kesadaran untuk
memberi.
Keluhan mereka
akan semakin
terasa ketika
kebutuhan hidup
senantiasa harus
tercukupi. Pangan,
sandang, papan,
kebutuhan
operasional
pekerjaan ketika
perangkat desa
akan, sedang dan
(mungkin juga)
setelah
melaksanakan tugas
sebagai perangkat
desa. Hajat hidup
yang lainpun ikut
menuntut untuk
dipenuhi, seperti
membiayai
pendidikan untuk
anak dan biaya
berobat keluarga
yang semakin
mahal, kepedulian
lingkungan dengan
kondangan (istilah
yang sangat akrab
tetapi kadang
membuat pening
fikiran) kepada
tetangga atau
handai taulan dalam
lingkup desa atau di
luar desa.
Kaitannya dengan
penghasilan selain
bengkok (bagi yang
ada) dan tunjangan
yang dialokasikan
oleh pemerintah,
maka sebetulnya
terbersit jeritan hati
perangkat desa
yang kadang dibalut
oleh kesabaran
pengabdian dengan
guyonan tawa
mereka bersama
rekan kerjanya.
Ya, menunggu
tunjangan untuk
tambahan
penghasilan yang
diharap dari
pemerintah dengan
kesabaran dan tawa
pengabdian, dengan
kesabaran dan tawa
keluarga ketika
kebutuhan tidak
tercukupi dan
akhirnya terbebani
hutang, kesabaran
dan tawa yang
memanfaatkan
isteri tercinta
sebagai ibu rumah
tangga untuk terjun
dalam liku-liku dan
berbasah keringat
membantu mencari
nafkah, kesabaran
dan tawa dalam
senandung do’a
tawakkal ketika
sang isteri tercinta
dan keluarga harus
berobat dengan
biaya di atas nilai 5
jutaan tanpa ada
subsidi bantuan dari
pemerintah karena
tidak mendapatkan
fasilitas jaminan
kesehatan
(Jamkesmas/
Jamkesda) dan
kesabaran dan tawa
ketika dipandang
masyarakatnya
dengan baju
pemerintah yang
berwibawa, tapi
statusnya gampang
diombang-
ambingkan oleh
penentu kebijakan,
yang akhirnya purna
bakti berbekal
ucapan terima kasih
tanpa cindera mata
dan bekal/pesangon
perhargaan darma
baktinya.
Tiga bulan
menunggu hasil jerih
payah pengabdian
kepada masyarakat
dan pemerintah
dengan nominasi
uang yang jauh dari
layak, perangkat
desa pun kadang
menengok ke
tetangga yang
bergaji besar, yang
datang tiap awal
bulan, sembari
berucap lirih “duh…
kenapa 3 bulannya
masih belum genap
juga…”. Di akhir
bulan ketiga,
perangkat desa dan
Kepala Desanya pun
ikut menunggu
informasi, apakah
tunjangan sudah
dicairkan atau
ditansferkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar