Entri Populer

Selasa, 01 November 2011

Menjadi Buruh Di Tanah Sendiri

Keberadaan
Freeport Memang
Tak Diterima Rakyat
Papua
Selasa, 1 November 2011 23:30 WIB
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA - Krisis
Papua dengan
sebagian latar
belakangnya adalah
tambang emas,
perak dan tembaga
di eksploitasi
Freeport yang
mengingatkan krisis
sebelumnya di
Timor-timur dan
NAD. Timor-timur
yang setelah
berdaulat sendiri
menjadi Timor
Leste, krisisnya
diawali dengan isu
HAM. Dari isu ini
negara-negara di Uni
Eropa menekan PBB
dan Australia
memanfaatkannya.
Pengamat ekonomi
politik Ichsanuddin
Noorsy
mengungkap, di
balik isu ini tak lain
soal perebutan
sumber daya energi
dan mineral.
Australia tergiur
dengan sumberdaya
itu. Demikian juga
dengan Aceh. Isu
besarnya adalah
tidak adilnya
pemerintah pusat
terhadap Aceh
sementara sumber
daya alam Aceh
dieksploitasi
perusahaan-
perusahaan asing,
antara lain Exxon,
atas konsesi
Pemerintah Pusat.
"Hal yang sama
terjadi pula dengan
pengerukan
sumberdaya emas di
Timika oleh Freeport
McMoran. Jika
Timor-timur menjadi
berdaulat sendiri
karena referendum
berdasarkan
tekanan negara-
negara barat dan
Australia, maka
kasus Aceh selain
diselesaikan dengan
perjanjian
perdamaian, juga
diwujudkan UU
Otsus. Papua pun
memperoleh hal
yang sama,"
ungkapnya, Selasa
(01/11/2011).
Bagaimana hasil
Otsus itu? Untuk
Aceh, lanjut Noorsy,
dengan kondisi
sekarang, maka
sebagian orang Aceh
menggagas, lebih
Aceh dipecah
menjadi dua atau
tiga provinsi. Gagas
ini menunjukkan,
ketidak adilan tetap
berlangsung.
Sedangkan untuk
Papua, selain sudah
dipecah menjadi dua
provinsi, ternyata
melahirkan konflik.
"Selain konflik antar
suku yang terus
berkepanjangan,
hubungan Freeport
dengan sekitarnya,
manajemen
Freeport dengan
pekerja, dan
Freeport dengan
masyarakat
Indonesia
menunjukkan
keberadaan
Freeport tidak
diterima," Noorsy
mengingatkan.
Seperti kebanyakan
MNC asal Amerika
yang beroperasi di
berbagai negara,
Freeport bukan saja
berhasil menggagahi
alam Papua yang
kaya dengan
mineral sangat
mahal, juga sukses
membangun
kerjasama dengan
politisi, birokrat
bahkan dengan
polisi.
Hampir setiap
konflik perusahaan
dengan masyarakat
sekitar dan dengan
pekerja, polisi
bertindak membela
Freeport.
"Kenapa, karena
menurut laporan
keuangan Freeport
McMoran, Freeport
Indonesia
"membayar"
kepolisian yang
bertugas di
kawasan tambang
sebanyak USD8jt utk
tahun 2008, menjadi
USD10jt dan USD14jt
masing-masing
untuk tahun 2009
dan 2010," tuturnya.
Sisi lain, Freeport
hanya membagi
royalti 3,5% untuk
tembaga dan 1%
untuk emas dan
perak. Lalu
bagaimana dengan
royalti atau bagi
hasil atas
bongkahan tanah
bebatuan yang
mengandung
uranium yang
mereka bawa ke
luar Timika ?
"Belajar dari sejarah
politik Indonesia,
saya nyaris yakin
bahwa konflik-
konflik yang muncul
sejak kksi Militer I
hingga hari ini
sebenarnya
membuktikan
kuatnya
keterlibatan asing
dalam konflik itu.
Terlalu banyak
buku-buku yg
diterbitkan oleh
kaum akademisi AS
sendiri yang bicara
tentang keterlibatan
AS atas hal ini."
ungkap Noorsy.
Bahkan, saat Obama
datang ke Indonesia
pada 10 November
2010, bagi saya hal
itu merupakan
penegasan bahwa
dominasi AS di
Indonesia akan terus
berlanjut.
Sementara konflik di
kawasan Indonesia
timur sendiri saya
lihat sebagai bukti
campur tangan
Barat demikian
kentalnya. Apakah
"Jakarta" tidak
tahu ? Justru
sebagian petinggi di
Jakarta mengetahui
hal itu untuk
kepentingan diri dan
kelompoknya,"
tegasnya.
(tribunnews/yat)
Penulis : Rachmat
Hidayat
Editor : Prawira
Maulana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar